Wednesday, January 14, 2015

seMESTA menduKUNG


Ahad sore, awal 2015 tanggal 4 Januari, cuaca sejuk, angin sepoi-sepoi, meski mendung masih menggelayut. Kami bertiga, saya, suami, dan yazdan, jagoan semata wayang duduk manis di depan kotak ajaib yang bisa keluar gambar dan suara. Kotak ajaib yang telah menemani suami, sejak beliau belum bertemu saya. Pesawat televisi jadul ukuran 14 inchi dengan body gendut, belum slim. Acara televisi sore ini sebuah film dengan judul MESTAKUNG, seMESTA menduKUNG.
Film ini diputar di SCTV, dan saya sudah tahu iklannya sejak sehari sebelumnya, pas hari sabtu. Selepas dzuhur, saya sudah menunggu pemutaran film ini. Begitu film tayang, saya agak kaget karena film ini ber setting di Madura, tempat suami saya berasal. Sontak saya berteriak “Abi, bangun, filmnya syuting di SMP N 1 Sumenep”. Akhirnya, nongkronglah kami bertiga. (yazdan sering pergi-pergi, sibuk mempersiapkan semua keperluan untuk edisi perdana masuk sekolah keesokan harinya, pasca tiga minggu full mendapat jatah libur dari sekolah)
Rasa yang sama, kami rasakan, antara saya dan suami. Setiap di televisi mengetengahkan Madura, pulau yang kami kunjungi setiap Idul Fitri tiba. Ada rindu menyeruak, ada kangen yang terbentuk, dan rasa membuncah ingin pulang. Rasanya scene demi scene dari film ini tak ingin terlewatkan, karena semua gambar yang muncul, tentang Sumenep, kabupaten paling ujung dari Pulau Garam, tempat suami lahir, tumbuh, dan dibesarkan.
Mengisahkan seorang bocah bernama Muhammad Arif, duduk di bangku SMP, anak cerdas, anak brilliant, ahli di mata pelajaran fisika. Namun, sungguh kasihan, ditinggal ibunya pergi ke Singapura sebagai TKW, yang tiada kunjung pulang. Ayahnya, seorang sopir truk pengangkut garam. Pulang sekolah, Arif bekerja membantu di bengkel, terkadang Arif ikut acara karapan sapi sebagai asisten peserta karapan. Setiap hari Arif bekerja untuk dapat menabung, uang hasil penghasilan yang Arif sisihkan, ia rencanakan untuk pergi mencari ibunya.
Tari Hayat, seorang guru dengan orientasi pada bidang science. Guru yang selalu  membimbing dan memberikan support terhadap Arif. Tari juga yang mendukung Arif untuk mengikuti lomba fisika. Tari Hayat, berasal dari keluarga berada, mulanya bekerja di Jakarta dengan penghasilan lebih besar. Hingga sebuah keputusan besar Tari ambil, pindah ke desa dan bekerja di sekolah kecil di tingkat Kabupaten.
Sepanjang satu jam film ditayangkan, saya dan suami sungguh-sungguh dimanjakan dengan pemandangan di Sumenep, tidak dijelaskan dengan pasti letak desa dan kecamatan lokasi syuting. Namun cukup mengobati rindu, bagian yang paling saya suka, saat Arif bertemu dengan ayahnya waktu perjalanan menuju ke Surabaya. Digambarkan pertemuan di depan Masjid Agung Sumenep, yang memang berada ditengah-tengah kota. Saat yazdan umur setahunan saya pernah diajak suami mengitari kota Sumenep. Waktu itu memang jadwal kami pulang kampung saat lebaran tiba.
Selanjutnya syuting berada di Jakarta. Arif “Welcome to the jungle”… yeeeaaaay…, sebagaimana pada film-film kebanyakan, pasti ada pemain antagonis. Disinilah Arif mendapatkan cemooh dan ejekan. Mereka berada dalam asrama, bergabung bersama anak-anak pecinta fisika lainnya, yang akan berlomba di Olimpiade Fisika Internasional di Singapura.
 Arif mendapatkan teman baik, bernama Muhammad Husni Thamrin, asli Betawi. Mereka langsung bisa akrab satu sama lain, karena mereka mempunyai kesamaan tujuan  ikut dalam komunitas pecinta fisika dan ikut olimpiade, yakni kecintaan mereka kepada ibunya dan kecintaan mereka pada science. Nilainya Arif belum memberikan arti yang bisa dibanggakan, bahkan relatif merosot. Hingga membuat Arif keluar asrama di tengah malam saat hujan deras, Arif berencana kabur, pulang kembali ke Sumenep.
Saat itulah Arif bertemu Cak Kumis, penjual ketoprak, sesama asli Madura. Disitulah Arif dinasehati oleh Cak Kumis, bahwa segala sesuatu harus harus kita lakukan dengan hati. Tidak ada kesuksesan yang langsung bisa kita raih, semua melalui proses. Tidak ada hal yang instan. Nasehat itu membuat Arif memutuskan kembali ke asrama. Arif semakin bersungguh-sungguh dalam melatih dirinya mempelajari fisika secara intens. Peringkat Arif semakin naik, nangkring ke atas.
Tim inti yang akan berlomba di bidang fisika pun berangkat ke Singapura, setibanya disana, Arif ditemani Thamrin mendatangi alamat ibu Arif. Di hari pertama pencarian, nihil, hal inipun membuat Arif sempat down. Syukurlah, hal ini tidak mempengaruhi hasil akhir capaian Arif. Hasil akhir kompetisi olimpiade ini Arif mendapatkan penghargaan luar biasa. Arif pun kembali ke Sumenep, dengan membawa kebanggan sekaligus kesedihan karena tidak berhasil bertemu dengan ibunya.
Tiba di desanya, Arif disambut oleh guru, teman-teman, dan ayahnya. Lepas dari pelukan ayahnya, Arif menangis sembari berkata bahwa ia tidak berhasil menemui ibunya. Namun, tetiba, ayahnya berkata, “ada yang ingin bertemu denganmu nak”. Sesaat kemudian, muncul wanita cantik berkerudung dari pintu rumah, dan ternyata ibu, yang selama ini dirindukan oleh Arif telah kembali. Adegan terakhir ini, yang mendesak airmata saya menetes, meski saya tahan. Entah kenapa jika menonton tayangan di televisi dan menyentuh sanubari, meski hasrat airmata untuk tumpah sedemikian mendesak, saya berusaha tahan saat ada suami dan anak saya. Namun jika saya sendiri, tanpa aba-aba, airmata saya biarkan meleleh dengan syahdunya.

Teori MESTAKUNG ini dilahirkan oleh Prof. Yohanes Surya, Ph.D, dan film MESTAKUNG ini didedikasikan untuk para putera bangsa yang siap membela nama baik bangsa dalam ajang perlombaan atau olimpiade skala internasional.

MESTAKUNG, semesta mendukung
Kalau kita bekerja keras, alam ini akan mendukung kita. semua digerakkan oleh diri kita. Air, semua molekulnya secara serentak bekerja bersama-sama mewujud menjadi uap air. Kadang kita tidak menyadari, secara bersama-sama kita bertepuk tangan, ini yang dinamakan mestakung.

Dua hal dari kebiasaan orang Madura yang saya sangat kagumi adalah
1)     Kebiasaan untuk selalu mencium tangan kepada yang lebih tua, meski hanya selisih satu dua tahun. Kebiasaan di seputaran Jogja Klaten juga ada, biasanya dari adik ke kakak akan cium tangan, anak ke orang tua, guru ke murid. Kita pun terbiasa. Namun, jika di Madura, tidak harus dalam hubungan formal. Sesama saudara sepupu yang lebih muda akan mencium tangan ke yang lebih tua. Sedangkan disini, sesama saudara sepupu selisih tiga lima tahun pun hanya bersalaman biasa. Di desa Lobuk, asal suami bahkan ke tetangga yang lebih tua setahun dua tahun juga mencium tangan, apalagi ke tetangga yang lebih tua. Kalau disini, saya perhatikan jika tidak ada hubungan darah ya hanya bersalaman biasa saja. Hal ini membuat saya terbiasa, mencium tangan rekan kerja putri yang lebih tua dari saya. Saya dan suami selalu mencium tangan budhe pakdhe paklek bulek saudara kandung ibu dan bapak saya yang tinggal di Klaten, sedang sepupu-sepupu saya tidak ada yang mencium tangan bapak ibu saya … he he he
2)   Kepada yang lebih tua, orang Madura tidak pernah menyebut “be’na” yang artinya kamu, tapi biasanya menyebut “mbak” atau “kakak”, atau minimal mereka menggunakan kata ganti “sampeyan”
(gambar, diambil dari http://indofiles.web.id)