Sunday, November 09, 2014

Desa Lobuk Sumenep Madura

Lobuk adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Bluto kabupaten Sumenep, masuk wilayah pulau Madura. Desa di pesisir pantai ini dari tahun ke tahun pastinya mengalami perkembangan, namun masih jauh jika dibandingkan dengan daerah lain. Suami saya yang lahir dan dibesarkan di desa ini pun juga mengakuinya.

Rasanya ada sesuatu yang mengganjal jika tidak ada tulisan yang saya rangkai sebagai penghargaan atas desa ini. Jelang sebelas tahun saya mengenal desa ini, sebanyak bilangan saya mengenal dan mendampingi suami saya. Perubahan desa Lobuk dalam sepuluh tahun memang merambat, meski tak bisa dibilang stagnan.
Setahun terakhir ini banyak pembangunan dilakukan sejak terpilihnya jajaran pemerintahan desa yang baru. Jalan-jalan di desa di aspal dan sebagian di paving. Hal ini memberikan kemudahan bagi warga untuk saling berkunjung ke warga yang lain. Meski dalam hitungan puluhan tahun mereka terbiasa dengan akses jalan terjal dan berbatu, tanpa penerangan yang memadai.

Untuk menuju desa Lobuk ini kita akan tiba di pinggir jalan besar, yang menghubungkan antar kabupaten di wilayah pulau Madura. Masyarakat menyebutnya dengan rong erong. Bentuk jalan yang berkelok tajam dan muncungnya seperti irung petruk di Gunung Kidul. Sopir dan kondektur bus pun sangat mengenalnya. Jalan aspal halus terbentang jika kita menuju ke desa Lobuk dari arah rong erong. Akses masuk ke desa hanya kendaraan pribadi, karena belum ada fasilitas angkutan desa yang diberikan pemerintah untuk mempermudah warga jika hendak pergi ke lain kecamatan bahkan ke kota.

Penambahan jumlah kendaraan pribadi, saya cermati mengalami kenaikan cukup signifikan dari tahun ke tahun. Meski, saya tidak tahu pasti kenaikan pendapatan dari masing-masing keluarga. Sehingga dengan mampu mencukupi kebutuhan tersier keluarga, berupa sepeda motor atau mobil, warga desa menciptakan kenyamanan sendiri jika akan bepergian kemanapun.

Memasuki desa Lobuk, mata akan dimanjakan dengan pemandangan hijau di sepanjang kiri dan kanan jalan. Perbukitan kecil, dan kelokan-kelokan jalan menambah kecantikannya. Di musim penghujan maupun kemarau, tanaman-tanaman yang terhampar di sepanjang jalan tidak pernah berubah warna, selalu hijau. Terkadang masyarakat menanami tembakau, kacang hijau, dan yang lain tergantung pada musimnya. Selebihnya adalah pepohonan beraneka ragam.
Melewati jalan sepanjang tiga kilometer, sebelum sampai di desa Lobuk, kita pasti teringat dengan pemandangan serupa jika akan menuju ke jajaran pantai di Gunung Kidul, keduanya memanjakan mata dengan keasrian dan kehijauannya. Tiada bosan dan lelah mata memandang. Jika mengingat sekian tahun yang silam, warga sudah terbiasa menempuhnya dengan berjalan kaki. Hal ini bukanlah sesuatu yang memberatkan bagi mereka. Hingga saat ini, sudah banyak kemudahan yang mereka peroleh, membantu meningkatkan produktivitas mereka.

Tak lengkap rasanya, jika berkunjung ke desa Lobuk tanpa menikmati pantai Lobuk. Jangan dibayangkan pantai Lobuk seperti pantai Indrayanti atau Pantai Baron. Karena pantai Lobuk bukan sebuah obyek wisata. Pantai Lobuk adalah anugerah bagi warga untuk memudahkan akses mereka menuju lautan lepas, dalam rangka mencari ikan bagi penghidupan mereka. Di sepanjang bibir pantai, teronggok sampah. Perahu-perahu nelayan diparkir dengan seadanya tanpa pengaturan yang rapi. Tidak terdengar deburan ombak kencang, karena karakteristik yang jauh berbeda dengan pantai-pantai di selatan pesisir pulau Jawa.

Apapun kondisi dan keadaannya, saya selalu bisa menikmati pantai ini. Mata pun tiada lelah melihat hamparan air yang membentang luas di depan mata. Pohon-pohon bakau yang tersisa di pinggir pantai menambah kenyamanan mata dalam melihat, meski sekali lagi, di sekitar pohon-pohon bakau sampah pun masih dimana-mana.

Tuhan menganugerahkan keindahan alam, selanjutnya kita yang diberi amanah untuk menjaganya. Seperti ini selamanya, atau menghendaki perubahan ke keadaan yang lebih baik. Entahlah ….

Satu hal lain yang saya cermati di desa ini adalah perihal keramahan. Jangan harap kita akan mendapatkan senyum-senyum hangat seperti di Jogja. Kita hanya mendapatkan keramahan dan senyum dari keluarga atau saudara dekat yang memang dikenal dengan baik. Selebihnya, hanya tatapan aneh dari mereka. Ini pengalaman saya pribadi dan hasil saya sendiri mencermati. Bahkan sering saya akhirnya tersenyum kecut, karena tarikan bibir ke kiri dan ke kanan bercenti-centi dari saya tidak berbalas senyum hangat. Tapi hanya dilihat cuek oleh mereka,,, ha ha ha ha ha. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Bisa jadi inilah peribahasa yang sedikit bisa mewakili apa yang saya rasakan. (Pengalaman ini khusus di desa Lobuk, untuk desa lain, saya belum pernah mengamati).

Sebuah kobaran semangat yang lahir setelah sekian paragraf di atas saya susun. Keinginan untuk ikut berperan serta, memajukan desa Lobuk ini, sekali lagi desa dimana suami saya lahir dan dibesarkan. Namun, untuk saat ini, di tahun 2015 bahkan mungkin 2016, inti dari paragraf ini masih menjadi wacana dalam angan saya. Ada banyak hal yang menjadikan hambatan, atau bisa jadi memang saya jadikan hambatan. Satu hal yang pasti, kehidupan keseharian saya saat ini di Jogja, dan yang seharusnya saya persembahkan terlebih dahulu adalah pengembangan bagi desa dimana saya dan keluarga berdomisili.

Meski, saya berjanji dalam hati dan selalu memohon dalam doa supaya dipanjangkan umur dan dilebihkan kemampuan untuk bisa memberikan sedikit kontribusi untuk desa Lobuk.


Tulisan ini saya edit kembali di bulan Agustus 2015.
Foto-foto di bawah, diambil dengan kamera Lenovo



Biru di ujung itu warna air laut

Bapak Ibu bersama anak dan cucu

Matahari jangan turun




Siluet Senja






Yazdan dan kakak sepupu (Alfan)

Yazdan dan sapinya kakek