Sunday, January 31, 2016

Ketika Anak Nyantri

Jelang sebulan, terhitung sejak tanggal 3 Januari 2016, kami berdua, saya dan suami melepas Yazdan. Tepatnya mengantar dan memasrahkan keberlangsungan pendidikan Yazdan di pondok pesantren. Yazdan, anak semata wayang kami yang akhir Maret 2016 genap berusia 10 tahun. Genap tiga minggu saya berurai airmata. Minggu keempat, lumayan berkurang.

Rasa sedih, sepo, “nggrantes”, semua menyesakkan dada dan berbaur menjadi satu menghimpit qolbu. Proses untuk sepenuhnya ikhlas melepas anak menjadi santri ..... Ternyata......... tak semudah seperti beberapa hari ditinggal Yazdan liburan di Klaten, tempat kakung dan uti.

Keputusan Yazdan menjadi santri dan mondok dikarenakan beberapa pertimbangan :
  • Jarak tempuh rumah ke sekolah lebih lama dan semakin jauh. Kami sudah tidak menggunakan jasa antar jemput. Teknis untuk Yazdan pulang ke rumah terkadang membuatnya harus menunggu lama, belum kalau pas hujan. 
  • Sesuatu hal di sekolah yang membuat Yazdan tidak betah, dan keinginan pindah semakin menguat. 
  • Lingkungan komplek yang heterogen, membuat kami kuatir, karena Yazdan masih termasuk tipikal anak yang mudah dipengaruhi. 
  • Kebutuhan Yazdan akan komunitas, yang terbalur akrab dalam kebersamaan sangatlah besar. Sehingga jika dalam satu hari tidak bertemu dengan teman-temannya, Yazdan menjadi bosan dan gelisah. Memang wajar adanya, kebutuhan bermainnya masih powerfull.
Finally, saya dan suami memberikan pilihan bagaimana kalau masuk pesantren lebih awal. Karena sejak kecil, kami berdua sudah menanamkan dalam hati Yazdan bahwa kelak pasti masuk pondok pesantren. Namun, sejak dulu rencana dan rancangan kami untuk Yazdan masuk pondok, jika Yazdan lulus SD, dan masuk ke SMP. Ternyata skenario Allah Subhanahu wa Ta’ala maju 2,5 tahun lebih awal.

T R Yazdan Muhammad


Kekuatiran yang menggelayut, jelas proses adaptasi di pondok, pertanyaan-pertanyaan “Apakah Yazdan krasan?”, “Bagaimana pola makan dan hobi jajannya Yazdan?”, “Bagaimana jadwal tidur dan bangunnya Yazdan?” dan sekian pertanyaan lainnya.

Hari pertama kami antar, dalam sehari dua kali, saya dan suami bolak-balik. Alhamdulillah, Yazdan dengan cepat menyesuaikan diri, langsung akrab, membaur, dan menyatu dengan teman-temannya satu asrama. Bersama 18 anak lainnya, Yazdan tinggal dalam satu aula, dan ada 3 pembina yang menjadi mentor sekaligus kakak. Sosok ketiga pembina ini akan saya kupas dalam tulisan yang lain.

Dan, saya pun kembali ke proses untuk terus belajar ikhlas dan ridho dengan keberadaan anak di pondok. Karena di rumah hanya tinggal berdua, saya dan suami.

Memaknai bahwa anak saya belajar agama dengan intens

Memaknai bahwa anak saya setiap hari menghafal Al Quran

Memaknai bahwa anak saya setiap hari membaca Al Quran

Memaknai bahwa anak saya setiap hari mentadabburi Al Quran

Memaknai bahwa anak saya setiap hari mendapatkan pengalaman baru

Memaknai bahwa anak saya, kelak pasti lebih saleh dan tangguh.

Memaknai bahwa anak saya pasti lebih bahagia



Lalu bagaimana dengan suami saya?

Beliau sangat tenang, tidak ada sedikit pun galau, apalagi deraian airmata.

Sejak lulus MI (Madrasah Ibtidaiyah) di sebuah desa di tepi pantai Lobuk, bapak dan ibu langsung memasukkan suami ke pondok pesantren. Karena hal ini sudah menjadi tradisi di Madura. Saya pun tahu, suami juga memendam rindu yang sama. Setiap saya telpon, spontan langsung merangsek mendekati saya, dan memasang kuping dibalik handphone yang saya pegang.

Laki-laki lebih logic mengedepankan akal daripada kaum ibu yang biasanya perasaan dulu mengemuka. Suami juga selalu menenangkan saya saat tangis pecah dan rindu pada Yazdan semakin membuat perasaan saya merana, dikarenakan kesepian yang teramat sangat.

Meski saya dan suami menjalani hari-hari berdua, kami yakini inilah skenario terindah dan terbaik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kini PR ada didalam hati saya, untuk lebih bisa bernegosiasi dengan perasaan yang terkadang masih melow drama. Apapun yang terjadi di waktu mendatang, baik tiga atau enam bulan, bahkan tahun depan, hanya Allah yang Maha Tahu segalanya.

Jujur, saya akui, ada riak dalam hati, saya ingin keadaan kembali seperti dulu, Yazdan ada di rumah. Setiap malam saya bisa menciumi dan memeluknya. Setiap saat saya bisa bercanda sepuasnya. Ah, semua masih harus saya tahan. Seminggu terakhir ini meski airmata lumayan berkurang, tapi saya masih “ngributi” .... merayu suami untuk menyetujui usul saya, Yazdan kembali ke rumah. Cukup sekolah sampai sore dan kembali ke sekolah keesokan harinya.
Baiklah, abaikanlah perasaan saya ini.


Berikut informasi mengenai pondok tempat Yazdan menuntuk ilmu agama dan ilmu dunia.



Pondok Pesantren Wahid Hasyim


Ini alamatnya :

Jalan Wahid Hasyim No. 3, Gaten, Condongcatur, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pondok dari sisi depan, masjid tertutup aula
Bangunan untuk santri&santriwati menghafal Quran
Asramapun menjadi tempat main **kaos kuning, itulah jagoan ganteng**

Berada di tengah kota Yogyakarta, padat penduduk dan lalu lintasnya ramai. Tepatnya, posisi Pondok Pesantren Wahid Hasyim berada di sebelah barat utara Amplaz, maksudnya ke barat lalu ke utara sedikit.

Meski perasaan saya sebagai seorang ibu masih terombang-ambing, namun dalam hati yang paling dalam, ada rasa trenyuh melihat anak-anak lain dari luar kota Jogja yang bersedia “mondok” dan jauh dari orangtua. Pun, terselip bangga, saat anak saya berjalan bersama santri lainnya, menuju masjid.

Untaian doa yang saat ini selalu terlantun dalam bibir dan dalam hati, agar anak selalu dalam lindungan-Nya. Toh, jarak yang sangat dekat dari kantor saya ke pondok sangat memudahkan dalam menengok Yazdan, kapan pun saya mau.

Terimakasih sahabat, feel free for sharing.



Gambar berikut posisi masjid yang berada di belakang aula, tidak bisa saya jepret secara utuh. Mohon dimaklumi.

Posisi masjid bagian depan

Tempat jamaah putri

Sisi samping masjid

15 comments:

  1. Ponpesnya tp masih di jogja kan ya mba? Masih bisa dikunjungi sering. Aq kok jadi ikutan sedih ya...pgn juga nantinya najla nyantri..entah pas SMP ato SMA

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, masih di Jogja, Mak. Deket sama Amplaz. Kalau anak perempuan sepertinya lebih melow drama.
      Ada cerita, rekan yang putri mereka berkeinginan masuk pondok, murni keinginan anak itu. Alhamdulillah, semua berjalan lancar dan baik. Kok ya ndilalah niat anak sama. Ingin menjadi hafidzah agar bisa mengantar bapak ibunya masuk surga

      Delete
  2. aku dulu waktu nyantri, Ibuku nangis terus mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Noorma nyantri sejak lulus SD atau SMP?.
      Sepertinya bakalan sama kalau untuk kita, banjir airmata teteeeeup.

      Delete
  3. Wah, akhirnya maju ya mba. Semoga Allah memberkahi Yazdan. Amin Ya Rabb.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, iya uni, akhirnya ......
      Alhamdulillah, anak nyaman-nyaman saja di pondok, sayanya mah yang masih galau. Terimakasih doanya uni.
      Semoga anak-anak kita menjadi pembuka pintu surga.

      Delete
  4. Jadi anak sholeh ya Yazdan... Umminya juga yang kuat dan tetap support yaaaa...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Tante Manda, terimakasih doanya. Terimakasih supportnya.

      Delete
  5. biasanya ibu-ibu memang perasa yaa.. huhu...saya juga pengen mengirim anak2 nyantri di pesantren, tapi masih galau apa saya sanggup pisah dari anak-anak kelak? kayaknya perlu menyiapkan mental dari sekarang, mumpung mereka masih balita.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bismillah, pasti bisa mbak.
      Sejak kecil, saya dan suami sudah menekankan ke anak, bahwa kelak dia mondok, tapi pas realisasi tetep saja, negosiasi hati sendiri lumayan sulit.
      Semoga anak-anak senantiasa sehat ya mbak, dan tumbuh menjadi anak saleh salehah, Aamiin

      Delete
  6. Orang tua terutama ibu memang gitu ya mbak, suka ngga tegaan kalau melepas anak buat nyantri, tapi demi masa depan harus dipaksakan ya mbak Nurul. Nanti lama-kelamaan kan terbiasa ya :)

    ReplyDelete
  7. Suamiku juga mind set-nya fixed, anak-anak masuk sekolah pondok/asrama saat SMP. Nomer 1 dan 2 sdh stable, tinggal yg Azka (saat ini kelas 5), rencananya juga akan diskeolah spt kedua kakaknya. Saat melepas Ifa dan Aida, suami lbh tenang dan gak kuatir. Taapppiii, utk Azka ini suami rada digelayuti galau karena azka pola makannya masih belum variatif dan moody-an.

    Kalau mengikuti versiku, pengennya sih mereka masuk asrama ntar saja pas SMA,

    Oia, suami mbak Nurul itu dr MAdura tho? Berarti srg ke MAdura dan melintasi Suramadu dong?

    ReplyDelete
  8. anak laki laki jangan ditangisi :) hehe
    biarkan ia tumbuh kuat

    ReplyDelete
  9. Aku pingin besok anakku juga nyantri, tapi masih rencana.. Tapi, kok yooo melow drama yooo.. rasane tuuu.. hiks..

    ReplyDelete
  10. Moga Yazdan betah yah dan makin soleh :)

    ReplyDelete